WATERPAL PENUNDA LAPAR
RAMADHAN
KERINDUAN BERSAMA TIGA MATAHARI, BULAN DAN BINTANG HIDUPKU
EPISODE 2
Waterpal Penunda Lapar
Minggu,7 Ramadhan. Terik mentari mulai membakar bumi, pekerjaan rutinku sudah hampir kelar, yang tentunya dibantu anak dan suami . Akh… capek juga, padahal bagianku hanya khusus merapikan.
Aku istirahat sejenak, sembari membuka kembali sepenggal cerita yang telah berlalu. Aku merindukan kebersamaan dengan ketiga matahari, bulan dan bintang hidupku.
Lembaran kedua kembali ku buka dalam angan dan hayalku.
Bulan Ramdhan, 15 belas tahun yang silam. Saat itu baru seminggu aku berpuasa.
Aku kembali menerima titipan Sang Maha Rahim. Saat putra keduaku yang telah menjadi sulung berusia dua tahun, kuperoleh seorang putra dengan bobot 4,4 kg. Dia kuberi nama Akbar Raj. Ya tentunya pemberian nama itu atas kesepakatanku dengan sang ayah. Embel-embel di belakang nama putraku tidak ada hubungannya dengan aktor Bollywood. Raj merupakan singkatan dari Ramadhani Al Junaidi.
Di satu sisi aku bahagia karena masih diberi kepercayaan untuk menerima amanah dari-Nya, namun di sisi lain hatiku sedih, karena anakku yang kedua masih terlalu kecil untuk berbagi. Dia mulai rewel dan tidak seperti biasanya apalagi saat adiknya menikmati ASI dariku.
Aku tak tega melihatnya bergelayut di kakiku dan meminta untuk dipangku. Meskipun sudah dipujuk sang ayah, namun dia tetap rewel. Ya… bahasa anak, melalui ekspresinya aku sangat tanggap. Ia tidak ingin aku abaikan dan butuh perhatian.
Sebagai seorang ibu, hatiku trenyuh karena usia setahun sudah harus ku sapih. Akhirnya kembali kuberikan ASI bergantian dengan adiknya. Ini ternyata yang diinginkan si Abang. Ia lebih lahap menikmati ASI yang ku berikan setelah adiknya, hingga seringkali dia terlelap saat menikati ASI yang ku berikan.
15 tahun yang silam, Ramadhan hanya bisa kunikmati bersama anak-anakku yang masih kecil dengan memberikan perhatian penuh pada keduanya. Meski terasa begitu berat, namun melihat keduanya tumbuh sehat letih dan penat yang kurasa terabaikan begitu saja.
Bulan berlalu tahunpun berganti, kedua putraku tumbuh dengan sehat dan semakin menggemaskan. Hingga tiba saatnya Ramadhan kembali menyapa. Saat itu si Abang berusia 3,5 tahun dan adiknya berusia 1,5 tahun, aku melatih si Abang untuk berpuasa meski aku ditegur oleh kakakku, dan mengatakan bahwa aku keterlaluan menyuruh anak sekecil itu berpuasa. Ya, berat memang melatihnya, pada tahun itu si abang hanya bisa berpuasa setengah hari sampai di akhir Ramadhan. Tetapi hatiku bahagia, karena aku sudah berhasil mengenalkan satu hal yang wajib dijalankan sebagai umat Islam.
Kebiasaan itu terus berlajut sampai Ramadhan tahun-tahun berikutnya.
Saat si Abang berusia 5,5 tahun dan si Adik 3,5 tahun, aku mencoba meningkatkan kualitas berlatih puasa si Abang dan memulai melatih si Adik untuk berpuasa. Di satu sisi aku tak tega saat membangunkan mereka dalam lelap tidurnya untuk makan sahur, namun di sisi lain aku berpikir, kalau bukan aku yang melatih siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.
Berat, sungguh berat melatih mereka. Bagaimana tidak? Mulai pukul 14.00 wib si Ayah terpaksa membawa mereka berkeliling kampung agar mereka bisa melupakan lapar dan dahaga. Sementara aku sudah harus bersiap-siap bertempur di dapur menyiapkan masakan untuk berbuka puasa. Pukul empat sore masakan untuk berbuka sudah harus selesai, karena berikutnya menjelang bedug magrib adalah giliranku yang membawa mereka berkeliling. Azan ashar mereka kembali ke rumah, si ayah membantu memandikan mereka dan aku menunaikan salat ashar setelah mebersihkan diri dari aroma bawang dan bumbu dapur. Usai mereka mandi aku sudah rapi dan siap mengenakan pakaian mereka lalu kembali membawa mereka berjalan.
Terasa berat, capek dan lelah sudah tentu, numun aku tak peduli, yang penting anak-anak bisa berlatih untuk menahan diri dari rasa lapar dan dahaga. Semoga aku sebagai ibunya kelak tidak lagi dituntut karena membiarkan mereka tidak mengenal kewajiban beragama.
Ramadhan di tahun 2007, kami pindah rumah, meski masih dalam kondisi belum layak huni, tapi aku dan suami tetap pindah dengan memboyong dua putraku. Bisa dibayangkan, rumah tanpa pintu, jendela belum terpasang, lantai masih tanah. Tapi kami tetap bersyukur dan tetap pada rutinitas menunaikan ibadah puasa saat Ramadhan menyapa. Kesederhanaan tidak menghalangi kami dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Kali ini, si abang dan si adik sudah mulai terbiasa berpuasa dan juga penuh semangat. Saat itu si abang sudah berusia enam tahun , dan si adik sudah berusia empat tahun.
Kali ini, sudah tidak terasa begitu berat saat melatih mereka berpuasa. Si abang sudah bisa menyelesaikan puasanya satu bulan penuh, dan si adik baru sanggup separuhnya, yang separuhnya hanya sampai setengah hari.
Mau tahu, bagaimana trik aku selanjutnya untuk mengalihkan rasa lapar mereka saat berpuasa? Kalau sebelumnya dengan mengajak berkeliling, kali ini berkeliling hanya rutinitas menjelang berbuka yaitu membeli yang mereka rasa inginkan untuk berbuka.
Ramadhan pertama aku sudah menyiapkan perencanaan agar putra-putraku merasa enjoy dalam menjalankan ibadah puasa yang sudah mulai terbiasa mereka lakukan.
‘Waterpal’ itu trikku. Nggak usah cari dalam kamus karena itu hanya istilahku saja. Ide itu muncul saat di sekitar tempat tinggalku baru dibuka kolam renang untuk anak-anak dan dewasa yang karcis masuknya belum terlalu mahal, namun karena buka setiap hari, lumayan membuat robek kantong.
Pekarangan rumahku cukup lebar, tetapi untuk membuat sebuah kolam renang tentu tidak sedikit memakan dana. Nah aku beli terpal yang ukurannya lumayan lebar dan ku bentuk menjadi kolam. Awalnya si ayah tidak setuju, tetapi dengan alasan yang masuk akal, akhirnya si ayah setuju dan turut membantu, mambatu liatin aja. He..he..he…
Ramadhan hari kedua, waterpal yang kubuat siap dipakai, air bersih dan sehat yang berasar dari sumur galian telah terisi.
Siang itu Si abang dan si adik meresmikan ‘waterpal’ buatanku, tanpa harus potong tumpeng ataupun potong pita. Dengan bermodalkan tangga dari susunan batako yang ku tata, mereka berdua bersiap untuk berenang layaknya atlit renang.
Eit… pembukaan ‘waterpal’ tercium oleh anak-anak tetangga, yang akhirnya ikut meramaikan suasana dan ikuit berenang bersama si abang dan si adik. Tidak hanya itu, tetangga juga ikut berdatangan, seolah pesta persesmian objek wisata.
Mereka senang bukan main. Sejak persesmian itu, rumahku selalu ramai mulai dari siang sampai menjelang waktu menunggu berbuka puasa, dengan tamu-tamu kecil seusia si abang dan si adik. Bahkan terkadang emak-emak juga tak ketinggalan hadir, walau hanya sekedar menemani anak-anak mereka.
Waterpal-ku bertahan sebulan lebih, anak-anak masih tetap menyukainya. Saat lebaran pun waterpal-ku masih diminati. Bahkan ada yang pagi-pagi sekali sudah mampir untuk mandi. Hingga akhirnya terpal itu tidak bisa lagi menanampung air, dan tamatlah sudah.
Begitu saja para pembaca kisahku kali ini, waterpal penunda lapar….
Jumpa lagi pada episode berikutnya, Ramadahan bersama si bungsu, si abang dan si adik.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar